Kamis, 23 Januari 2014

Menerawang Kepingan Cinta Dengan Formulasi Eksak



Hari sabtu di awal bulan Januari, ku susuri sepanjang lorong lantai dua kampus satu, yang kudapati hanya suasana lengang sepi tak ada geming dan riuh celoteh mahasiswa. Mahasiswa, sebuah makhluk perpaduan dari gamet jantan dan betina, sebentuk zigot, terbungkus rahim ibu, dan keluar di usia sekitar dua puluh tahun. Makhluk yang selalu di tuntut menyumbangkan ide-ide gila, menggeruskan pil perubahan, dan menelankannya pada tiap-tiap mulut individu terdahulu tanpa peduli tentang sisi lain bayang-bayang sisi kemanusiaan yang harfiah merasakan cinta. Ledakan emosionalitas dan pacuan adrenalin ketika mendekati seorang pujaan hati. Seakan ingatanku memflashback dimensi-dimensi ingatanku kemarin. Ketika aku dan teman akrabku bercakap tentang formulasi cinta. Sebuah ide gila mengkonsepkan serta merumuskan tentang definisi sebuah cinta. Menggunakan seluruh kerut-kerut korteks otak kami untuk sesuatu yang mungkin tak masuk logika. Memeras tiap lokus-lokus terdalam hingga kering, lalu menjemurnya di bawah terik matahari siang itu yang begitu panas.
“Bro, apa cinta bisa diformulasikan?”.
 “Entahlah, apa perlu kita coba?”.
Sebuah ajakan yang membuatku makin larut dalam hasutan propaganda Gael. Seolah ada sesuatu yang menggelitik rasa penasaranku pada Einstein, bagaimana dia mampu merumuskan sesuatu yang imajiner dan terkesan tidak logis menjadi sesuatu yang bisa dibuktikan, sangat masuk akal dan logis. Rasanya beberapa asupan karbohidrat, protein dan lemak akan membantu kami untuk memecahkan perumusan ini. Sepiring nasi soto dan dua gelas es limun telah mengisi kerongkonganku dan Gael, sampai tidak secuil pun dari sisa rempah-rempah bersisa di mulut. Membebaskan sel-sel mitokondria tubuh kami mencernanya dengan cepat. Namun, sejauh ini tidak satu pun dari kami dapat merumuskan sebaris formulasi cinta – atau minimal tentang konseptualitas perumusan dari pengalaman-pengalaman cinta kami – mungkin lebih tepatnya pengalaman cinta Gael – bukan pengalaman cintaku. Aku hanya terlalu sering mencintai, tapi harus berakhir dengan keabstrakan. Mencintai, tapi tak sekali pun pernah dicintai. Bahkan untuk sebuah niat yang benar sekali pun tidak ada kesempatan bagiku. Sedang Gael, dia sudah sering membongkar pasang kepingan puzzle-puzzle kehidupan cintanya. Menata ulang album-album rekam EEG dalam memori otaknya–tentang mencintai dan dicintai – selagi kami berdiskusi.
Gael adalah sebuah literatur nyata yang berisi tentang perbendaharaan emosionalitas, pemetaan langkah, dan esai-esai tentang cinta – dalam versi hidup dan bernafas. Seseorang yang ku kenal sebagai penerjemah dari sandi-sandi cinta. Sedangkan aku hanya mencicipi dari ceritanya dan berusaha merumuskan formulasi cinta – sambil berkata, “Perfecto!”. Tapi semua itu tidak akan mudah bagiku, bahkan faktanya aku pun bukan seorang pengicip yang baik. Butuh ekstra tunjangan hari tua untuk pekerjaan yang sekali lagi tak masuk logika dan terkesan gila ini.
Seminggu kemudian, lagi-lagi di hari ini – hari sabtu – masih di bulan Januari. Ini kali kedua aku berjumpa dengan matakuliah yang sejujurnya tak serumit namanya, hanya saja agak membosankan, semua sama sejak dulu Phytagoras ada sampai sekarang pita kado sudah dijual dimana – mana, dengan beraneka motif dan warna. Jam pagi untuk mata kuliah Matematika Dasar II. Matakuliah yang sekali lagi harus memaksaku menyusuri sepanjang lorong lantai dua kampus satu dalam suasana lengang, sepi tak bergeming. Hari yang seharusnya di kampus ini diwajibkan sebuah “tradisi upacara adat” suku mahasiswa bernama pulang kampung. Kulangkahkan kaki yang beralaskan sepatu kulit ini dengan prasangka baik, mencoba masuk ke dalam ruang dunia angka-angka itu tanpa gugup sedikit pun dan duduk di barisan paling depan – sebuah bentuk susunan permutasi dari deret-deret kursi mahasiswa yang keramat dan wajib dijauhi. Mataku sempat lalu-lalang menatap masuk ke arah bola mata dosenku, mencoba menebak-nebak apa yang ada di benaknya ketika melihatku yang datang terlambat. Tak berselang lama, sontak aku bergegas menarik pandanganku dari dalam bola matanya, aku seperti melihat sebuah pandangan sinis berpangkat tak berhingga mengarah kepadaku sebelum materi hari ini – yang sempat beberapa detik terhenti – di mulai kembali.
Sebuah tangan menepukku agak keras dari belakang – seolah membangunkanku dari hipnotis alam bawah sadar bola mata dosenku. “Santai bro, kuliah baru dimulai.”, seru lirih Gael dengan agak berbisik. Kalkulus, Aljabar, Geometri, dan Algoritma. Lagi, lagi, dan lagi. Sekali lagi aku harus benci mengakuinya, semuanya berulang-ulang sejak dari pertama aku mulai belajar mengikat sepatu hingga kini aku sudah mengikatkan dasi di leherku. Perasaan mual selalu ada tiap kali materi-materi itu harus di jejalkan kedalam pori-pori kepala dan menyerapnya tepat di otakku yang sebenarnya sudah menutup rapat-rapat. Menghindari jejalan materi formulasi matematis hasil copy-paste dari para tokoh-tokoh filusuf pendahulu.
Kenapa tak coba sesekali untuk mencoba menggunakan bagian-bagian dari sinapsis otak kita untuk menkonsepkan sendiri sebuah rumusan – bahkan untuk suatu rumusan yang tak logis sekali pun. Tentang cinta, mungkin? Materi yang juga sempat ku bahas dengan Gael semalam lewat telepon – cukup serius – bahkan sampai larut, hingga operator selular mungkin sudah muak mendengar celoteh omong kosong kami tentang ide gila memformulasikan cinta. Memang tadi malam, hampir tiga atau empat kali lipat dari SKS normal matakuliah Matematika Dasar II kami habiskan untuk membahas ulang percakapan kami kemarin. Tiap inchi kata-kata Gael benar-benar mendetail. Tiap milisekon ceritanya sangat padat berisi. Sampai-sampai aku bingung menyebutnya sebagai sebuah informasi, pengetahuan baru, dongen, atau curahan hati. Beberapa menit lagi – tak lebih dari lima belas derajat jarum jam terlewat – jam kuliah akan berakhir, saatnya bergiliran mengerjakan latihan soal diakhir perkuliahan. Anehnya, tiba-tiba saja otakku menghasutku untuk berfikir lebih, “Kenapa jam kuliah ini tidak ku gunakan untuk membuat formulasi itu saja.”
Kusiapkan kertas putih HVS, tiap-tiap dari inchi-nya masih putih bersih tanpa cacat bekas coretan atau lekukan. Sebuah awal yang baik untuk memulai merumuskan formulasi. Perlahan ku coretkan beberapa konsep-konsep dalam bentuk simbol-simbol. Perlahan namun pasti, seiring memenuhnya tulisan di papan, semakin menyempit pula ruang coret di hadapanku. Semakin jelas pula ku temukan formulasi itu. Tanganku seoalah bergerak sendiri mencari ruang kosong untuk siap di isi, melayani perintah otakku yang menjadi dalang dari semua aksi gila ini. Sampai beberapa saat kemudian, aku berhasil menemukan sebuah formulasi cinta itu, lengkap dengan penjelasannya. Spontanitas rasa puasku mendorong otakku untuk mengekspresikan perasaanku lewat suara – tanpa sadar – reflek aku berkata dengan lantang memecah keheningan kelas, “Perfecto!”. Seisi kelas menjadi riuh, membicarakan tingkah spontinitasku itu. Dosen pun tahu coretan – coretan yang ku tulis, beliau menyuruhku untuk menuliskannya ke depan kelas. Dengan bangga aku mulai melangkahkan kaki, menggenggam spidol hitam di tangan kananku dan mulai menulis formulasiku dengan tegas di atas papan putih dihadapanku.