Hari sabtu di awal bulan Januari, ku susuri
sepanjang lorong lantai dua kampus satu, yang kudapati hanya suasana lengang
sepi tak ada geming dan riuh celoteh mahasiswa. Mahasiswa, sebuah makhluk
perpaduan dari gamet jantan dan betina, sebentuk zigot, terbungkus rahim ibu,
dan keluar di usia sekitar dua puluh tahun. Makhluk yang selalu di tuntut
menyumbangkan ide-ide gila, menggeruskan pil perubahan, dan menelankannya pada
tiap-tiap mulut individu terdahulu tanpa peduli tentang sisi lain bayang-bayang
sisi kemanusiaan yang harfiah merasakan cinta. Ledakan emosionalitas dan pacuan
adrenalin ketika mendekati seorang pujaan hati. Seakan ingatanku memflashback
dimensi-dimensi ingatanku kemarin. Ketika aku dan teman akrabku bercakap
tentang formulasi cinta. Sebuah ide gila mengkonsepkan serta merumuskan tentang
definisi sebuah cinta. Menggunakan seluruh kerut-kerut korteks otak kami untuk
sesuatu yang mungkin tak masuk logika. Memeras tiap lokus-lokus terdalam hingga
kering, lalu menjemurnya di bawah terik matahari siang itu yang begitu panas.
“Bro, apa cinta bisa diformulasikan?”.
“Entahlah,
apa perlu kita coba?”.
Sebuah ajakan yang membuatku makin larut dalam
hasutan propaganda Gael. Seolah ada sesuatu yang menggelitik rasa penasaranku
pada Einstein, bagaimana dia mampu merumuskan sesuatu yang imajiner dan
terkesan tidak logis menjadi sesuatu yang bisa dibuktikan, sangat masuk akal
dan logis. Rasanya beberapa asupan karbohidrat, protein dan lemak akan membantu
kami untuk memecahkan perumusan ini. Sepiring nasi soto dan dua gelas es limun
telah mengisi kerongkonganku dan Gael, sampai tidak secuil pun dari sisa
rempah-rempah bersisa di mulut. Membebaskan sel-sel mitokondria tubuh kami
mencernanya dengan cepat. Namun, sejauh ini tidak satu pun dari kami dapat
merumuskan sebaris formulasi cinta – atau minimal tentang konseptualitas
perumusan dari pengalaman-pengalaman cinta kami – mungkin lebih tepatnya
pengalaman cinta Gael – bukan pengalaman cintaku. Aku hanya terlalu sering
mencintai, tapi harus berakhir dengan keabstrakan. Mencintai, tapi tak sekali
pun pernah dicintai. Bahkan untuk sebuah niat yang benar sekali pun tidak ada
kesempatan bagiku. Sedang Gael, dia sudah sering membongkar pasang kepingan
puzzle-puzzle kehidupan cintanya. Menata ulang album-album rekam EEG dalam
memori otaknya–tentang mencintai dan dicintai – selagi kami berdiskusi.
Gael adalah sebuah literatur nyata yang berisi
tentang perbendaharaan emosionalitas, pemetaan langkah, dan esai-esai tentang
cinta – dalam versi hidup dan bernafas. Seseorang yang ku kenal sebagai
penerjemah dari sandi-sandi cinta. Sedangkan aku hanya mencicipi dari ceritanya
dan berusaha merumuskan formulasi cinta – sambil berkata, “Perfecto!”. Tapi
semua itu tidak akan mudah bagiku, bahkan faktanya aku pun bukan seorang
pengicip yang baik. Butuh ekstra tunjangan hari tua untuk pekerjaan yang sekali
lagi tak masuk logika dan terkesan gila ini.
Seminggu kemudian, lagi-lagi di hari ini – hari sabtu
– masih di bulan Januari. Ini kali kedua aku berjumpa dengan matakuliah yang
sejujurnya tak serumit namanya, hanya saja agak membosankan, semua sama sejak
dulu Phytagoras ada sampai sekarang pita kado sudah dijual dimana – mana,
dengan beraneka motif dan warna. Jam pagi untuk mata kuliah Matematika Dasar
II. Matakuliah yang sekali lagi harus memaksaku menyusuri sepanjang lorong
lantai dua kampus satu dalam suasana lengang, sepi tak bergeming. Hari yang
seharusnya di kampus ini diwajibkan sebuah “tradisi upacara adat” suku
mahasiswa bernama pulang kampung. Kulangkahkan kaki yang beralaskan sepatu
kulit ini dengan prasangka baik, mencoba masuk ke dalam ruang dunia angka-angka
itu tanpa gugup sedikit pun dan duduk di barisan paling depan – sebuah bentuk susunan
permutasi dari deret-deret kursi mahasiswa yang keramat dan wajib dijauhi.
Mataku sempat lalu-lalang menatap masuk ke arah bola mata dosenku, mencoba
menebak-nebak apa yang ada di benaknya ketika melihatku yang datang terlambat.
Tak berselang lama, sontak aku bergegas menarik pandanganku dari dalam bola
matanya, aku seperti melihat sebuah pandangan sinis berpangkat tak berhingga
mengarah kepadaku sebelum materi hari ini – yang sempat beberapa detik terhenti
– di mulai kembali.
Sebuah tangan menepukku agak keras dari belakang
– seolah membangunkanku dari hipnotis alam bawah sadar bola mata dosenku.
“Santai bro, kuliah baru dimulai.”, seru lirih Gael dengan agak berbisik.
Kalkulus, Aljabar, Geometri, dan Algoritma. Lagi, lagi, dan lagi. Sekali lagi
aku harus benci mengakuinya, semuanya berulang-ulang sejak dari pertama aku
mulai belajar mengikat sepatu hingga kini aku sudah mengikatkan dasi di
leherku. Perasaan mual selalu ada tiap kali materi-materi itu harus di jejalkan
kedalam pori-pori kepala dan menyerapnya tepat di otakku yang sebenarnya sudah
menutup rapat-rapat. Menghindari jejalan materi formulasi matematis hasil
copy-paste dari para tokoh-tokoh filusuf pendahulu.
Kenapa tak coba sesekali untuk mencoba
menggunakan bagian-bagian dari sinapsis otak kita untuk menkonsepkan sendiri
sebuah rumusan – bahkan untuk suatu rumusan yang tak logis sekali pun. Tentang
cinta, mungkin? Materi yang juga sempat ku bahas dengan Gael semalam lewat
telepon – cukup serius – bahkan sampai larut, hingga operator selular mungkin
sudah muak mendengar celoteh omong kosong kami tentang ide gila memformulasikan
cinta. Memang tadi malam, hampir tiga atau empat kali lipat dari SKS normal
matakuliah Matematika Dasar II kami habiskan untuk membahas ulang percakapan
kami kemarin. Tiap inchi kata-kata Gael benar-benar mendetail. Tiap milisekon
ceritanya sangat padat berisi. Sampai-sampai aku bingung menyebutnya sebagai
sebuah informasi, pengetahuan baru, dongen, atau curahan hati. Beberapa menit
lagi – tak lebih dari lima belas derajat jarum jam terlewat – jam kuliah akan
berakhir, saatnya bergiliran mengerjakan latihan soal diakhir perkuliahan.
Anehnya, tiba-tiba saja otakku menghasutku untuk berfikir lebih, “Kenapa jam
kuliah ini tidak ku gunakan untuk membuat formulasi itu saja.”
Kusiapkan kertas putih HVS, tiap-tiap dari
inchi-nya masih putih bersih tanpa cacat bekas coretan atau lekukan. Sebuah
awal yang baik untuk memulai merumuskan formulasi. Perlahan ku coretkan
beberapa konsep-konsep dalam bentuk simbol-simbol. Perlahan namun pasti,
seiring memenuhnya tulisan di papan, semakin menyempit pula ruang coret di
hadapanku. Semakin jelas pula ku temukan formulasi itu. Tanganku seoalah
bergerak sendiri mencari ruang kosong untuk siap di isi, melayani perintah
otakku yang menjadi dalang dari semua aksi gila ini. Sampai beberapa saat
kemudian, aku berhasil menemukan sebuah formulasi cinta itu, lengkap dengan
penjelasannya. Spontanitas rasa puasku mendorong otakku untuk mengekspresikan
perasaanku lewat suara – tanpa sadar – reflek aku berkata dengan lantang
memecah keheningan kelas, “Perfecto!”. Seisi kelas menjadi riuh, membicarakan
tingkah spontinitasku itu. Dosen pun tahu coretan – coretan yang ku tulis,
beliau menyuruhku untuk menuliskannya ke depan kelas. Dengan bangga aku mulai
melangkahkan kaki, menggenggam spidol hitam di tangan kananku dan mulai menulis
formulasiku dengan tegas di atas papan putih dihadapanku.